Dalam pembangunan republik ini, sejak 1970-an pendidikan kerap dianggap
kemewahan, bukan kebutuhan. Penyediaan pendidikan bermutu dinomorduakan
dibanding penguatan ekonomi. Kebijakan seperti ini berbahaya.
Budaya
pendidikan dunia memodelkan pembangunan berdasarkan intelektualitas.
Karena sumber daya alam terbatas serta jagat semesta rentan terhadap
gangguan, pembangunan berkelanjutan perlu berpusat pada intelektualitas.
Implikasi dari model ini, masyarakat belajar serta budaya belajarnya
yang tumbuh mengakar jadi penggerak utama pembangunan setiap negara.
Suka
atau tidak, pendidikan merupakan lokomotif terdepan pembangunan.
Kesejahteraan bangsa serta kekokohan ekonomi bergantung mutlak pada
pendidikan. Ekonomi kokoh dapat dicapai jika pendidikan kuat.
Penerapan
model ini butuh prasyarat: tujuan pendidikan negara harus dirumuskan
dengan akurat. Kecakapan yang diperkirakan dibutuhkan di masa depan
harus dikenali dan dianalisis. Dari sana kemudian dibuat standar
pendidikan. Oleh karena itu, pertanyaan utama dan pertama yang mutlak
dikaji pemimpin negara adalah: ”Kecakapan strategis apa yang perlu
dibelajarkan?”
Kecakapan abad ke-21
Di
pengujung abad ke-20, dua peneliti—Richard J Murnane (Harvard Kennedy
School) dan Frank Levy (MIT)—melakukan riset bersama guna menjawab
pertanyaan di atas. Murnane (pakar kebijakan pendidikan) dan Levy (pakar
ekonomi urban) mengkaji kecenderungan jenis kecakapan yang kian
dibutuhkan dan tak dibutuhkan dunia kerja.
Berdasarkan data tahun
1969-1998, mereka mengungkapkan bahwa kecakapan memecahkan masalah tak
rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Pada saat
komputer serta teknologi informasi semakin berdaya, banyak masalah
rutin dapat dipecahkan oleh mesin. Sebaliknya, manusia justru semakin
dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak rutin. Kecakapan kedua yang juga
semakin dibutuhkan adalah kecakapan berkomunikasi kompleks, seperti
kecakapan seorang manajer dalam memotivasi stafnya.
Hal yang
paling drastis menurun kebutuhannya adalah kecakapan kognitif rutin.
Kecakapan seperti menghafal serta kecakapan berpikir tingkat rendah
semakin tak diperlukan.
Berdasar penelitian itu, Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) merumuskan Programme for
International Student Assessment (PISA) guna menjawab pertanyaan:
”Seberapa siap pelajar di dunia di akhir masa wajib sekolahnya, yakni
umur 15, untuk menguasai kecakapan abad ke-21?”
Untuk Indonesia,
hasilnya memang buruk. Ini dapat dibaca di situs OECD. Mengapa pelajar
kita begitu buruk pencapaiannya di PISA? Kita pasti sepakat anak-anak
kita tidak bodoh. Lalu, mengapa hasilnya buruk?
Jawabnya
sederhana. Anak- anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang
salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak
untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kedaluwarsa,
seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anak kita sangat jarang
diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar
tingkat tinggi.
Insentif bagi pelajar yang berhasil mengembangkan
kecakapan modern tersebut justru nyaris tak terdengar. Bukan maksud
tulisan ini mengatakan bernalar tingkat rendah tak diperlukan lagi, tapi
harus ada keseimbangan antara kecakapan bernalar tingkat rendah dan
tingkat tinggi.
Sampai kini sangat sulit meyakini adanya upaya
serius dan sistematis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
menindaklanjuti hasil PISA guna meningkatkan pencapaian dua kecakapan
tadi. Rangkaian kebijakan pendidikan nasional yang dicanangkan justru
kerap bertolak belakang dengan upaya penguasaan dua kecakapan itu.
Budaya belajar
Kecemasan
sebagai motivasi atau pemaksa belajar tentu sangat bertentangan dengan
upaya mewujudkan masyarakat belajar yang sepatutnya senang belajar dan
menghargai proses bernalar. Penggunaan kecemasan sebagai motivator
belajar juga bertentangan dengan teori belajar, yang meletakkan motivasi
intrinsik sebagai prinsip utama dalam proses belajar untuk memahami.
Kesukacitaan
belajar dan penghargaan pada proses bernalar adalah jiwa masyarakat
belajar. Sebagai tambahan, pemanfaatan informasi di masa ini jauh lebih
bernilai dibandingkan nilai informasinya sendiri. Masalah penyimpanan
dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh
absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah
dapat dikerjakan mesin.
Ironisnya, praktik pendidikan di
republik ini justru berpusat pada kecakapan seperti mesin itu. Proses
bernalar dengan sengaja diasingkan dari pendidikan. Dalam pembelajaran
matematika, khususnya, bukannya bernalar tingkat tinggi yang
dibelajarkan di ruang kelas, melainkan justru kecakapan kedaluwarsa,
seperti berhitung cepat dan menghafal rumus tanpa makna.
Alasan
klise bahwa para guru kita tak mampu membelajarkan kecakapan bernalar
mungkin saja ada benarnya, tetapi jika guru mampu pun, mereka tidak akan
membelajarkan kecakapan bernalar tingkat tinggi. Mengapa? Salah satunya
karena model dan sistem ujian nasioanl (UN) kita.
Sistem UN yang
dominan pada kecakapan menghafal informasi semata ini jadi alasan sahih
mengapa para pelajar kita, juga gurunya, menghindari proses bernalar
tingkat tinggi. Siswa dan guru akan bertanya: mengapa perlu memahami
bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN tak pernah mengujinya.
Yang dituntut di UN toh sekadar bagaimana memasukkan angka- angka ke
rumus a2+b2>c2'>.
Akibatnya, siswa menjadi sangat lemah
dalam pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika
pengasingan budaya bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan,
bangsa kita sangat mungkin akan kesulitan melibatkan diri dalam
pembangunan dunia di masa depan. Dampaknya, ekonomi kita pun akan
hancur.
Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar, perlu gerakan
penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang.
Perguruan tinggi di seluruh daerah dapat menciptakan forum semacam
”Akademi Sabtu”, tempat guru bersama akademisi menyegarkan budaya
bernalar serta meningkatkan kemampuan guru membelajarkan kecakapan
bernalar.
Sebelum melanjutkan penggunaan UN untuk kelulusan,
Kemdikbud harus membenahi hal berikut. Standar isi dibenahi dengan
tujuan menyiapkan pelajar menguasai kecakapan modern. Lembaga pendidikan
guru perlu menekankan penguasaan konsep dan teori belajar, bukan
administrasi mengajar.
Sistem UN Matematika perlu dirombak agar
mampu mengukur kecakapan bernalar tingkat tinggi. Misalnya, dengan
menambahkan daftar rumus yang dibutuhkan dan dilekatkan pada berkas
ujian. Hal seperti ini diterapkan pada berbagai tes profesional.
Konsekuensinya, UN akan melibatkan tuntutan yang lebih bermakna
ketimbang sekadar ”tahu” atau ”ingat” rumus. Yang juga sangat penting,
berbagai pernyataan Kemdikbud harus mengirimkan pesan pentingnya budaya
bernalar dan belajar.
Iwan Pranoto Guru Besar ITB
belajar SEO bagi pemula
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar